Apakah Mengenal Pasangan Harus Lewat Pacaran?
oleh: Ustadz muhammad abduh tuasikal (
www.remajaislam.com )
Sebagian orang menyangka bahwa jika seseorang
ingin mengenal pasangannya mestilah lewat pacaran. Kami pun merasa aneh kenapa
sampai dikatakan bahwa cara seperti ini adalah satu-satunya cara untuk mengenal
pasangan. Saudaraku, jika kita telaah, bentuk pacaran pasti tidak lepas dari
perkara-perkara berikut ini.
Pertama: Pacaran adalah jalan menuju zina
Yang namanya pacaran adalah jalan menuju zina dan
itu nyata. Awalnya mungkin hanya melakukan pembicaraan lewat telepon, sms, atau
chating. Namun lambat laut akan janjian kencan. Lalu lama kelamaan pun bisa
terjerumus dalam hubungan yang melampaui batas layaknya suami istri. Begitu
banyak anak-anak yang duduk di bangku sekolah yang mengalami semacam ini
sebagaimana berbagai info yang mungkin pernah kita dengar di berbagai media.
Maka benarlah, Allah Ta’ala mewanti-wanti kita agar jangan mendekati
zina. Mendekati dengan berbagai jalan saja tidak dibolehkan, apalagi jika
sampai berzina. Semoga kita bisa merenungkan ayat yang mulia,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang
buruk.”(QS. Al Isro’: 32). Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan,
“Allah melarang mendekati zina. Oleh karenanya, sekedar mencium lawan jenis
saja otomatis terlarang. Karena segala jalan menuju sesuatu yang haram, maka
jalan tersebut juga menjadi haram. Itulah yang dimaksud dengan ayat ini.”[1]
Selanjutnya, kami akan tunjukkan beberapa jalan menuju zina yang tidak mungkin
lepas dari aktivitas pacaran.
Kedua: Pacaran melanggar perintah
Allah untuk menundukkan pandangan
Padahal Allah Ta’ala perintahkan dalam
firman-Nya,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An Nur: 30). Dalam ayat ini,
Allah memerintahkan kepada para pria yang beriman untuk menundukkan pandangan
dari hal-hal yang diharamkan yaitu wanita yang bukan mahrom. Namun jika ia
tidak sengaja memandang wanita yang bukan mahrom, maka hendaklah ia segera
memalingkan pandangannya. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja).
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar
aku segera memalingkan pandanganku.”[2]
Ketiga: Pacaran seringnya berdua-duaan
(berkholwat)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ
تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan
seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah
orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.”[3]
Berdua-duaan (kholwat) yang terlarang di sini tidak mesti dengan berdua-duan di
kesepian di satu tempat, namun bisa pula bentuknya lewat pesan singkat (sms),
lewat kata-kata mesra via chating dan lainnya. Seperti ini termasuk semi
kholwat yang juga terlarang karena bisa pula sebagai jalan menuju sesuatu yang
terlarang (yaitu zina).
Keempat: Dalam pacaran, tangan pun ikut
berzina
Zina tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis
yang bukan mahrom sehingga ini menunjukkan haramnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى
مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ
زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا
الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى
وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian
untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua
mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan
adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina
kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan
berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari
yang demikian.”[4]
Inilah beberapa pelanggaran ketika dua pasangan
memadu kasih lewat pacaran. Adakah bentuk pacaran yang selamat dari hal-hal di
atas? Lantas dari sini, bagaimanakah mungkin pacaran dikatakan halal? Dan
bagaimana mungkin dikatakan ada pacaran islami padahal pelanggaran-pelanggaran
di atas pun ditemukan? Jika kita berani mengatakan ada pacaran Islami, maka
seharusnya kita berani pula mengatakan ada zina islami, judi islami, arak
islami, dan seterusnya.
Menikah, Solusi Terbaik untuk Memadu
Kasih
Solusi terbaik bagi yang ingin memadu kasih
adalah dengan menikah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda,
« لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ
»
“Kami tidak pernah mengetahui
solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.”[5]
Inilah jalan yang terbaik bagi orang yang mampu
menikah. Namun ingat, syaratnya adalah mampu yaitu telah mampu menafkahi
keluarga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda[6],
barangsiapa yang memiliki baa-ah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan
menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu,
maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.”[7]
Yang dimaksud baa-ah dalam hadits ini boleh jadi jima’ yaitu mampu
berhubungan badan. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud baa-ah
adalah telah mampu memberi nafkah. Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullahh mengatakan
bahwa kedua makna tadi kembali pada makna kemampuan memberi nafkah.[8]
Itulah yang lebih tepat.
Inilah solusi terbaik untuk orang yang akan memadu
kasih. Bukan malah lewat jalan yang haram dan salah. Ingatlah, bahwa kerinduan
pada si dia yang diidam-idamkan adalah penyakit. Obatnya tentu saja bukanlah
ditambah dengan penyakit lagi. Obatnya adalah dengan menikah jika mampu. Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya obat bagi orang yang
saling mencintai adalah dengan menyatunya dua insan tersebut dalam jenjang
pernikahan.”[9]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar