ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
SYNDROME STEVEN JOHNSON
Disusun Oleh : Kelompok II
Tingkat II.
A Keperawatan
M. Yani
T.M.
Kamaruddin
Novi Riska
Mauliza
Sari
Afdar
Bukhari
Desi
Mulyanti
Firdaus
Irna
Julianti
M.H
M. Faris
Musliadi
M.J
Rudi Hermawan
Samsul
Kamar
Zulmizal
Dosen
Pengajar: Yusrawati, S.Kep
PEMERINTAH KABUPATEN ACEH UTARA
AKADEMI KESEHATAN BIDANG KEPERAWATAN
TAHUN 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Steven Johnson merupakan sindrom kelainan kulit pada selaput
lendir orifisium mata gebital. Prediksi : mulut, mata, kulit, ginjal, dan anus.
Steven Johnson tersebut disebabkan oleh beberapa mikroorganisme virus dll.
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah
kemudian umurnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma, mulainya penyakit
akut dapat disertai gejala prodiomal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek
dan nyeri tenggorokan.
Sindrom Steven Johnson ditemukan oleh dua dokter anak
Amerika. A. M. Steven dan S.C Johnson, 1992 Sindrom Steven Johnson yang bisa
disingkat SSJ merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan.
Angka kejadian Sindrom Steven Johnson sebenarnya tidak
tinggi hanya sekitar 1-14 per 1 juta penduduk. Sindrom Steven Johnson dapat
timbul sebagai gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti dengan bengkak dan
kemerahan pada kulit. Setelah beberapa waktu, bila obat yang menyebabkan tidak
dihentikan, serta dapat timbul demam, sariawan pada mulut, mata, anus, dan
kemaluan serta dapat terjadi luka-luka seperti keropeng pada kulit. Namun pada keadaan-keadaan
kelainan sistem imun seperti HIV dan AIDS angka kejadiannya dapat meningkat
secara tajam.
Dari data diatas penulis tertarik mengangkat kasus Sindrom
Steven Johnson karena Sindrom Steven Johnson sangat berbahaya bahkan dapat
menyebabkan kematian. Sindrom tidak menyerang anak dibawah 3 tahun, dan penyebab
Sindrom Steven Johnson sendiri sangat bervariasi ada yang dari obat-obatan dan
dari alergi yang hebat, dan ciri-ciri penyakit Steven Johnson sendiri
gatal-gatal pada kulit dan badan kemerah-merahan dan Sindrom ini bervariasi ada
yang berat dan ada yang ringan.
(
Support, Edisi November 2008 )
B.
Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memberikan pengalaman nyata
tentang Asuhan Keperawatan dengan Kasus Sindrom Steven Johnson.
2. Tujuan Khusus
Secara
khusus '' Asuhan Keperawatan Klien dengan Sindrom Steven Johnson '', ini disusun
supaya :
a. Mahasiswa dapat mengetahui tentang
pengertian, penyebab, klasifikasi, tanda dan gejala, patofisiologi, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaa, serta komplikasi dari Sindrom Steven Johnson.
b. Mahasiswa dapat memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan Sindrom Steven Johnson.
c. Mahasiswa dapat memberikan
pendidikan kesehatan tentang Sindrom Steven Johnson pada klien.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
Pengertian
Sindrom Steven Johnson adalah
sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula,
dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000:
136).
Sindrom Steven Johnson adalah
penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan di
mukosa dan konjungtivitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah
sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
B.
Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan
pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah:
1. Alergi obat
secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)
a.
Penisilline dan semisentetiknya
b.
Sthreptomicine
c.
Sulfonamida
d.
Tetrasiklin
e.
Anti piretik atau analgesik (derifat,
salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol)
f.
Klorpromazin
g.
Karbamazepin
h.
Tegretol
i.
Jamu
2.
Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan
parasit)
3.
Neoplasma dan faktor endokrin
4.
Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
5.
Makanan
C. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, kemungkinan disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang
membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi
hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak
kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi
reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .
1. Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek
antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah
atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut,
tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen
asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen
antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan
degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat
terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai
memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel
serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut
(Corwin, 2000: 72).
2. Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh
sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu
antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai
oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam
untuk terbentuknya.
D.
Manifestasi Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada
usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada
yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya
penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise,
nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan
berupa:
1.
Kelainan kulit
Kelainan
kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura.
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
2.
Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan
selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul
oleh kelainan dilubang alat genital (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus
jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainan
berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan
ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Di bibir
kelainan yang sering tampak yaitu krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan
dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan
esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat
menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar
bernafas.
3.
Kelainan mata
Kelainan
mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtivitis
kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtivitis purulen, perdarahan,
ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Disamping
trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis
dan onikolisis.
E.
Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah
bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh kasus yang ada.
Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan
elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan
lakrimasi.
F.
Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Bila keadaan
umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg
sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati
secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan
digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa
kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera
dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi,
keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi,
dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis
mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet
kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan
dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat
tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu
setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan
Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia
diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.
Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi
protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat
dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
2.
Antibiotik
Untuk
mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan
kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum
luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
3.
Infus dan tranfusi darah
Pengaturan
keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau
tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat
menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan
Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat
diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut,
terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura
yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari
dan hemostatik.
4.
Topikal
Terapi
topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in oral base. Untuk lesi di
kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
G. Pemeriksaan
Penunjang
1.
Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau
eosinofilia. Bila disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2.
Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel
mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan
basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
3.
Imunologi : Dijumpai deposit IgM dan C3 di pembuluh
darah dermal superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM,
IgA.
BAB
III
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
SYNDROME
STEVEN JOHNSON
A.
Pengkajian
1.
Identitas
pasien
a. Nama
b. Jenis kelamin
c. Umur
d. Status perkawinan
e. Pekerjaan
f. Agama
g. Pendidikan terakhir
h. Alamat
2.
Riwayat
Kesehatan lalu
3.
Riwayat
kesehatan sekarang
4.
Riwayat
kesehatan keluarga
5.
Riwayat
pengobatan
6.
Data
sosial ekonomi
7.
Aktifitas
sehari-hari
8.
Pemeriksaan
Fisik
a. Keadaan umum
b. Tanda-tanda Vital : suhu tubuh,
tekanan darah, nadi, pernafasan.
B.
Diagnosa Keperawatan
1.
Gangguan
integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal dan epidermal.
2.
Gangguan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan.
3.
Gangguan
rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan inflamasi
pada kulit.
4.
Gangguan
intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
C.
Intervensi
1.
Untuk
Diagnosa I
Tujuan: Gangguan integritas kulit
tidak terjadi.
Kriteria Hasil: Menunjukkan kulit
dan jaringan kulit yang utuh.
Intervensi:
a. Observasi kulit setiap hari catat
turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi.
Rasional:
menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan
intervensi yang tepat.
b. Gunakan pakaian tipis dan alat tenun
yang lembut.
Rasional:
menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi
terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko
infeksi.
c. Jaga kebersihan alat tenun.
Rasional:
untuk mencegah infeksi.
d. Kolaborasi dengan tim medis.
Rasional:
untuk mencegah infeksi lebih lanjut.
2.
Untuk
diagnos II
Tujuan: Nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil: menunjukkan berat
badan stabil/peningkatan berat badan.
Intervensi :
a. Kaji kebiasaan makanan yang
disukai/tidak disukai.
Rasional:
memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam
perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan.
b. Berikan makanan dalam porsi sedikit
tapi sering.
Rasional:
membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan.
c. Hidangkan makanan dalam keadaan
hangat.
Rasional:
meningkatkan nafsu makan.
d. Kerjasama dengan ahli gizi.
Rasional:
kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik,
mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.
3.
Untuk
diagnos III
Tujuan: Nyeri tidak terjadi.
Kriteria Hasil: Melaporkan nyeri
berkurang, menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks.
Intervensi :
a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan
lokasi dan intensitasnya.
Rasional:
nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan.
b. Berikan tindakan kenyamanan dasar seperti
pijatan pada area yang sakit.
Rasional:
meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum.
c. Pantau TTV.
Rasional:
metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat.
d. Berikan analgetik sesuai indikasi.
Rasional:
menghilangkan rasa nyeri.
4.
Untuk
diagnosa IV
Tujuan : Gangguan intoleransi
aktivitas tidak terjadi.
Kriteria Hasil : Klien melaporkan
peningkatan toleransi aktivitas.
Intervensi :
a. Kaji respon individu terhadap
aktivitas.
Rasional:
mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.
b. Bantu klien dalam memenuhi aktivitas
sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki klien.
Rasional:
energi yang dikeluarkan lebih optimal.
c. Jelaskan pentingnya pembatasan
energy.
Rasional:
energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh.
d. Libatkan keluarga dalam pemenuhan
aktivitas klien.
Rasional:
klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit
kulit akut dan berat yang terdiri dari eropsi kulit, kelainan mukosa dan
konjungtivitis dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat.
Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula dapat disertai purpura.
Penyebab dari penyakit SSJ
ini belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap
sebagai penyebab infeksi virus, jamu, bakteri, obat, makanan, dan lain-lain.
sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa kelainan kulit, kelainan
selaput lendir, kelainan mukosa, kelainan mata. Adapun diagnosanya berupa gangguan
integritas kulit, gangguan nutrisi, gangguan nyaman, gangguan intoleransi aktivitas,
gangguan persepsi sensori.
B. Saran
Dalam pembuatan
makalah ini kelompok menyadari masih
minimnya bahan yang kelompok gunakan untuk menyusun makalah ini. Untuk itu
kelompok menyarankan supaya ada pihak lain dapat membahas masalah ini lebih
mendalam mengenai masalah ini. Dan tentunya bagi mahasiswa yang melakukan
asuhan keperawatan diharapkan harus menganalisa keadaan pasien dengan baik dan
tepat.
DAFTAR
PUSTAKA
Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doenges. 2000. Rencana
Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Siregar, R.S. 2004. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd
edition. Jakarta: EGC
Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi
Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta: EGC
Sumber: Scribd.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar