Rabu, 30 Mei 2012

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN SYNDROME STEVEN JOHNSON


ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN 
SYNDROME STEVEN JOHNSON




Disusun Oleh : Kelompok II
Tingkat II. A  Keperawatan



M. Yani
T.M. Kamaruddin
Novi Riska
Mauliza Sari
Afdar
Bukhari
Desi Mulyanti
Firdaus
Irna
Julianti M.H
M. Faris
Musliadi M.J
Rudi Hermawan
Samsul Kamar
Zulmizal




Dosen Pengajar: Yusrawati, S.Kep


PEMERINTAH KABUPATEN ACEH UTARA
AKADEMI KESEHATAN BIDANG KEPERAWATAN
TAHUN 2012








BAB I
PENDAHULUAN

      A.      Latar Belakang
Steven Johnson merupakan sindrom kelainan kulit pada selaput lendir orifisium mata gebital. Prediksi : mulut, mata, kulit, ginjal, dan anus. Steven Johnson tersebut disebabkan oleh beberapa mikroorganisme virus dll.
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma, mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Sindrom Steven Johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika. A. M. Steven dan S.C Johnson, 1992 Sindrom Steven Johnson yang bisa disingkat SSJ merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan.
Angka kejadian Sindrom Steven Johnson sebenarnya tidak tinggi hanya sekitar 1-14 per 1 juta penduduk. Sindrom Steven Johnson dapat timbul sebagai gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti dengan bengkak dan kemerahan pada kulit. Setelah beberapa waktu, bila obat yang menyebabkan tidak dihentikan, serta dapat timbul demam, sariawan pada mulut, mata, anus, dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka seperti keropeng pada kulit. Namun pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun seperti HIV dan AIDS angka kejadiannya dapat meningkat secara tajam.
Dari data diatas penulis tertarik mengangkat kasus Sindrom Steven Johnson karena Sindrom Steven Johnson sangat berbahaya bahkan dapat menyebabkan kematian. Sindrom tidak menyerang anak dibawah 3 tahun, dan penyebab Sindrom Steven Johnson sendiri sangat bervariasi ada yang dari obat-obatan dan dari alergi yang hebat, dan ciri-ciri penyakit Steven Johnson sendiri gatal-gatal pada kulit dan badan kemerah-merahan dan Sindrom ini bervariasi ada yang berat dan ada yang ringan.
( Support, Edisi November 2008 )


B.       Tujuan
1.    Tujuan Umum
Untuk memberikan pengalaman nyata tentang Asuhan Keperawatan dengan Kasus Sindrom Steven Johnson.

2.    Tujuan Khusus
Secara khusus '' Asuhan Keperawatan Klien dengan Sindrom Steven Johnson '', ini disusun supaya :
a.    Mahasiswa dapat mengetahui tentang pengertian, penyebab, klasifikasi, tanda dan gejala, patofisiologi, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaa, serta komplikasi dari Sindrom Steven Johnson.
b.    Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan Sindrom Steven Johnson.
c.    Mahasiswa dapat memberikan pendidikan kesehatan tentang Sindrom Steven Johnson pada klien.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A.      Pengertian
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan di mukosa dan konjungtivitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).

B.       Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah:
1.    Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)
a.       Penisilline dan semisentetiknya
b.      Sthreptomicine
c.       Sulfonamida
d.      Tetrasiklin
e.       Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol)
f.       Klorpromazin
g.      Karbamazepin
h.      Tegretol
i.        Jamu
2.    Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
3.    Neoplasma dan faktor endokrin
4.    Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
5.    Makanan

C.      Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, kemungkinan disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .
1.      Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).

2.      Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

D.      Manifestasi Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.

Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
1.    Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
2.    Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak yaitu krusta berwarna hitam yang tebal.

Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.

3.    Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtivitis purulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.

E.       Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.

F.       Penatalaksanaan
1.    Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).

2.     Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.

3.    Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.

4.    Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in oral base. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.

G.      Pemeriksaan Penunjang
1.      Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2.      Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
3.      Imunologi : Dijumpai deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
SYNDROME STEVEN JOHNSON

A.    Pengkajian
1.      Identitas pasien
a.       Nama
b.      Jenis kelamin
c.       Umur
d.      Status perkawinan
e.       Pekerjaan
f.       Agama
g.      Pendidikan terakhir
h.      Alamat
2.      Riwayat Kesehatan lalu
3.      Riwayat kesehatan sekarang
4.      Riwayat kesehatan keluarga
5.      Riwayat pengobatan
6.      Data sosial ekonomi
7.      Aktifitas sehari-hari
8.      Pemeriksaan Fisik
a.       Keadaan umum
b.      Tanda-tanda Vital : suhu tubuh, tekanan darah, nadi, pernafasan.

B.     Diagnosa Keperawatan
1.      Gangguan integritas kulit berhubungan dengan  inflamasi dermal dan epidermal.
2.      Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan  kesulitan menelan.
3.      Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan  inflamasi pada kulit.
4.      Gangguan intoleransi aktivitas berhubungan dengan  kelemahan fisik.

C.    Intervensi
1.      Untuk Diagnosa I
Tujuan: Gangguan integritas kulit tidak terjadi.
Kriteria Hasil: Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh.
Intervensi:
a.       Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi.
Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
b.      Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut.
Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi.
c.       Jaga kebersihan alat tenun.
Rasional: untuk mencegah infeksi.
d.      Kolaborasi dengan tim medis.
Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut.

2.      Untuk diagnos II
Tujuan: Nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil: menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan.
Intervensi :
a.       Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai.
Rasional: memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan.
b.      Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering.
Rasional: membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan.
c.       Hidangkan makanan dalam keadaan hangat.
Rasional: meningkatkan nafsu makan.


d.      Kerjasama dengan ahli gizi.
Rasional: kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.

3.      Untuk diagnos III
Tujuan: Nyeri tidak terjadi.
Kriteria Hasil: Melaporkan nyeri berkurang, menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks.
Intervensi :
a.       Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya.
Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan.
b.      Berikan tindakan kenyamanan dasar seperti  pijatan pada area yang sakit.
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum.
c.       Pantau TTV.
Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat.
d.      Berikan analgetik sesuai indikasi.
Rasional: menghilangkan rasa nyeri.

4.      Untuk diagnosa IV
Tujuan : Gangguan intoleransi aktivitas tidak terjadi.
Kriteria Hasil : Klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas.
Intervensi :
a.       Kaji respon individu terhadap aktivitas.
Rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.

b.      Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki klien.
Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal.
c.       Jelaskan pentingnya pembatasan energy.
Rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh.
d.      Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien.
Rasional: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga.


BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari eropsi kulit, kelainan mukosa dan konjungtivitis dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula dapat disertai purpura. Penyebab dari penyakit SSJ ini belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab infeksi virus, jamu, bakteri, obat, makanan, dan lain-lain. sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa kelainan kulit, kelainan selaput lendir, kelainan mukosa, kelainan mata. Adapun diagnosanya berupa gangguan integritas kulit, gangguan nutrisi, gangguan nyaman, gangguan intoleransi aktivitas, gangguan persepsi sensori.

B.       Saran
Dalam pembuatan makalah ini  kelompok menyadari masih minimnya bahan yang kelompok gunakan untuk menyusun makalah ini. Untuk itu kelompok menyarankan supaya ada pihak lain dapat membahas masalah ini lebih mendalam mengenai masalah ini. Dan tentunya bagi mahasiswa yang melakukan asuhan keperawatan diharapkan harus menganalisa keadaan pasien dengan baik dan tepat.



DAFTAR PUSTAKA


Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.

Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Siregar, R.S. 2004. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. Jakarta: EGC

Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta: EGC



Sumber: Scribd.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar